Senin, 03 November 2008

Bullying Bikin Anak Depresi dan Bunuh Diri


Bullying ?, Apaan sih ?. Banyak masyarakat yang belum familiar dengan istilah ini. Apalagi, belum ada padanan kata
yang tepat dalam bahasa Indonesia. Padahal, tanpa disadari tindakan bullying terjadi setiap hari di lingkungan rumah,
sekolah, kantor dan di mana pun. sederhana bullying diartikan
sebagai penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau kelompok sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya.
Bentuk bullying terbagi tiga, yaitu bersifat fisik, seperti memukul, menampar, memalak; verbal seperti memaki,
menggosip, mengejek; serta psikologis, seperti mengintimidasi, mengecilkan, mengabaikan, mendiskriminasi.
"Bullying" itu bukan tentang apa yang 'saya' lakukan kepada orang lain, melainkan apa persepsi si korban terhadap sikap 'saya'.
Misalkan, di televisi ada selebriti yang suka ngomong seenaknya saja, tapi tidak membuat penonton marah, maka itu bukan bullying. Bullying terjadi ketika apa pun yang dilakukan seseorang membuat orang lain merasa kecil, takut, dan tertindas,". Kasus bullying paling sering terjadi di sekolah. Kasusnya terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari ejekan hingga kekerasan fisik yang serius, juga tindakan non-verbal, seperti mengucilkan. Kasus
seperti yang dialami Hasby anak SMP IT Bina Insani KAYUAGUNG adalah contoh bullying verbal. Fauzan (12) terperanjat ketika berjalan di lorong sekolah dan
berpapasan dengan Adit (12), teman kelasnya yang terkenal sebagai biang onar. "Eh, gendut, apa kabar ?. Hari ini makan apa saja ?" cibir Adit sambil menunjuk perut Hasby. Ketika ejekan Adit membuat Hasby merasa direndahkan
dan kehilangan rasa percaya diri, itu berarti Hasby telah menjadi korban bullying (dibuli). Sementara, Adit disebut
pembuli (pelaku bullying).
Bullying menimbulkan dampak negatif, seperti menurunkan skor tes kecerdasan (IQ) dan
kemampuan analisis siswa. Berbagai penelitian juga menunjukkan hubungan antara bullying dengan meningkatnya depresi dan agresi. Bullying juga berpengaruh pada penurunan nilai akademik dan tindakan bunuh diri. Kasus gantung
diri yang dilakukan Fifi Kusrini (13) pada 15 Juli 2005 lalu, misalnya. Berawal dari korban sering diejek sebagai sebagai
anak tukang bubur oleh teman-teman sekolahnya. Sepele bukan ?, namun berdampak pada hilangnya nyawa
seseorang. Belum lagi beberapa siswa SD yang gantung diri karena tidak bisa membayar SPP. "Kita tentu tidak
menginginkan pendidikan menjadi tempat seseorang menemui ajalnya. Sebab itu, semua orangtua harus mendapat
pengetahuan dan disadarkan bahwa bullying sama sekali bukan permainan anak-anak. Ini adalah awal dari suatu teror
terhadap anak-anak dan bisa berkepanjangan," ujar Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dr Meutia Hatta.
Untuk itu, Meutia mengharapkan bahwa antibullying menjadi gerakan masyarakat yang meliputi semua orang. Termasuk kesadaran orangtua agar tergerak melakukan sesuatu, seperti menumbuhkan sikap baik dalam keluarga dan mengatur tontonan televisi bagi putra-putrinya. Begitu pun halnya di sekolah, harus ada pengawasan yang biasanya dilakukan
guru BP (Bimbingan dan Penyuluhan). "Guru BP sebaiknya diberi pelatihan khusus agar punya kepekaan untuk mengetahui adanya keganjilan-keganjilan. Kita mengharapkan pendidikan ini mencetak generasi yang baik dan andal di kemudian hari. Sekolah harus mencetak SDM yang andal, kalau tidak mampu, sistem sekolah itu yang harus diperbaiki,"
tandas Meutia. Masalah Serius yang Dianggap Sepele Pengertian dan jenis bullying amat luas. Tak perlu berpikir yang ekstrem, seperti menampar atau menonjok, melirik dengan tatapan sinis, atau mengolok-olok teman dengan nama orangtua juga bisa membuat orang lain tersinggung. Bahkan, bergosip yang selama ini dianggap biasa pun masuk kategori bullying. Bukan hal aneh bila di zaman sekarang, terutama di kota besar, anak-anak SD melontarkan kata-kata kasar, seperti Goblok lu!!.. Dasar lemot lu!!...Liburan enggak ke mana-mana ya ?,
Kasihan deh lu.. Masalahnya, apakah anak-anak usia SD dan SMP itu menyadari bahwa hal tersebut bisa melukai perasaan orang lain ?. Sayang, masih banyak yang menganggap bullying sebagai sesuatu yang biasa dan tidak perlu dipersoalkan. Itu kan ujian mental bagi anak-anak kita supaya mereka tumbuh tegar,. Ada pula seorang ibu yang berujar, Saya dulu sering
diperlakukan seperti itu waktu kecil, nyatanya sekarang baik-baik saja. Rupanya, bullying telah berlangsung sejak lama hingga lintas generasi. Ironisnya, masyarakat cenderung mendiamkan dan menyepelekan hal itu. Penelitian yang dilakukan Yayasan Sejiwa pada 2004-2006 menunjukkan bahwa banyak guru di Indonesia yang menganggap Bullying masalah serius. Bullying adalah masalah kesehatan publik yang patut mendapat perhatian. Orang yang pernah menjadi korban bullying semasa kecil, kecenderungannya lebih besar untuk tumbuh menjadi pribadi yang kurang percaya diri. Bahkan, menjadi penderita depresi.. Sementara itu, pelaku bullying kemungkinan besar akan terlibat tindak kriminal di kemudian hari. Hasil survei NICHD yang dimuat majalah Journal of American Medical
Association pada 2001 memaparkan bahwa lebih dari 16 persen murid sekolah di AS mengaku mengalami bullying yang dilakukan murid lain. Pada tahun yang sama, Departemen Kehakiman AS mengeluarkan statistik yang lebih mencengangkan, yaitu 77 persen populasi pelajar AS mengalami bullying secara fisik, mental, dan verbal. Lebih memilukan lagi, Richard Werly dalam artikel 'Presecuted Even on the Playground' di majalah Liberation 2001, melaporkan bahwa 10 persen dari pelajar stres merupakan korban bullying dan pernah berusaha bunuh diri. Paling tidak sekali. Di Indonesia belum ada data memadai karena penelitian tentang fenomena bullying masih baru. Hasil studi pada 2006 yang dilakukan ahli intervensi bullying asal Amerika Dr Amy Huneck mengungkapkan bahwa 10-16 persen siswa Indonesia melaporkan mendapat ejekan, cemoohan, pengucilan, pemukulan, tendangan ataupun didorong, sedikitnya sekali dalam seminggu. Untuk menghilangkan sama sekali tindakan itu di sekolah memang tidak mungkin,
tapi minimal bisa diminimalkan. Komunikasi terbuka antara pihak sekolah, orangtua, dan murid merupakan kunci utama.Ditambah dengan dukungan pemerintah dan masyarakat dalam menanamkan nilai-nilai positif dalam institusipendidikan. Peran orangtua sangat penting karena anak yang dibuli biasanya lebih suka bercerita kepada orangtua daripada gurunya. Ada baiknya, sekolah juga memfasilitasi kegiatan yang memungkinkan orangtua mengembangkan keterampilan berkomunikasi dengan anak. Sebab, kenyataannya, sebagian orangtua enggan langsung melaporkan kasus yang menimpa anaknya," saran psikolog UI dr Ratna Djuwita.

Tidak ada komentar: